Aku berniat menghilang.
Dan bukan, ini bukan karena aku lemah. Bukan karena aku kalah. Tapi karena aku muak menjaga perasaan seseorang yang bahkan tak pernah menoleh pada luka yang kutanggung sendiri.
Aku sudah cukup diam. Sudah cukup sabar. Sudah cukup menahan segala bentuk pertanyaan yang tak bisa kutanyai langsung. Aku sudah cukup baik—bahkan terlalu baik untuk seseorang yang hanya membalas diam dengan diam.
Kenapa saat Allah tahu aku akan jatuh, Dia tidak menghalanginya? Mungkin karena Dia tahu, aku perlu hancur untuk benar-benar sembuh. Aku perlu kecewa, agar aku berhenti menggantungkan bahagia pada manusia yang tak layak.
Hari ini, aku tidak peduli lagi dia paham atau tidak. Aku tidak peduli dia akan sadar atau tetap buta. Yang penting, aku berhenti menyiksa diriku sendiri. Aku berhenti membuat seakan semuanya baik-baik saja.
Aku kecewa. Dan tidak, itu bukan salahku.
Kalau selama ini aku terlihat tenang, itu karena aku terlalu sering menyembunyikan badai. Kalau selama ini aku masih bertahan, itu karena aku percaya—setia tidak harus dilihat. Tapi cukup! Aku tidak akan terus bertahan untuk orang yang bahkan tak pernah berniat mengerti.
Hari ini aku memilih pergi. Dengan kepala tegak. Dengan hati yang, meski terluka, tetap penuh harga diri. Aku tidak akan menoleh lagi.
Dan jika suatu hari nanti ia menoleh, yang ia temukan hanyalah bayanganku yang sudah menyatu dengan ketegaran. Bukan aku yang dulu. Karena gadis itu sudah memilih untuk berdiri sendiri—tanpa menanti siapa pun kembali.
Hari ini aku tidak lagi menunggu. Hari ini aku memulai hidup yang tidak menaruh siapa pun di atas diriku sendiri.
Mungkin ini adalah akhir aku bercerita tentangnya. Bukan karena rasaku habis, tapi karena aku memilih mencintai diriku sendiri lebih dulu.