Minggu, 13 April 2025

With All Sincerity



Aku pernah menyusun kata-kata untukmu dengan sangat hati-hati.
Berulang kali kutulis, kuhapus, kurevisi,
agar tak ada satu pun dari mereka yang menyakiti.
Karena bahkan saat aku belajar melepaskanmu,
aku tetap ingin menjaga caraku pergi.

Tapi ternyata aku kalah dengan closure di catatan IG mu.


Dan aku menerimanya—sebagai tanda bahwa waktunya telah tiba.
Waktunya untuk tidak lagi menunggu,
tidak lagi menjadi pertimbangan yang disimpan dalam jeda panjang yang tak pasti.
Karena mungkin, kehadiranku bukan penghibur,
melainkan belenggu yang membuatmu tak nyaman melangkah.


Kamu tak perlu merasa bersalah pernah datang,
karena bahkan jika kamu tak datang sekalipun,
aku tetap akan menyampaikan semuanya.
Sudah kupersiapkan sejak lama,
sebuah pesan tenang yang tidak lagi memaksa arah.


Kini, aku akan benar-benar pergi.
Tanpa jejak, tanpa sisa bisik yang tertinggal.
Tidak akan ada lagi "like" di storymu,
tidak akan ada lagi "reply" di catatanmu

tidak ada tulisan utas lagi tentangmu

tidak lagi mendiskusikan namamu dengan Rabbku

tidak akan ada lagi aku yang berharap-harap diam.


Tapi sebelum benar-benar menutup pintu ini,
aku ingin berpesan—bukan sebagai seseorang yang pernah merasa,
melainkan sebagai seseorang yang pernah mengerti beratnya menyampaikan rasa.
Jika suatu hari nanti ada hati lain yang datang padamu,
tolong jangan terlalu keras.
Mungkin ia telah berjam-jam meyakinkan dirinya,
menurunkan gengsi yang lama dibentengi,
memastikan kalimatnya tidak terlalu jujur tapi juga tidak terlalu samar,
dan berbulan-bulan lamanya memanjatkan doa agar semua sesuai harapannya. 


Mungkin aku hanya persinggahan yang tak kau duga,
bukan yang kau tuju.
Dan itu tidak apa-apa.
Aku minta maaf pernah singgah dengan rasa yang terlalu nyata.
Aku tak akan memaksakanmu untuk tahu apa yang membuatku bertahan sejauh ini.
Biar semuanya tetap seperti ini:
sepotong kisah yang hanya aku dan Tuhan yang paham.


Dan jika suatu hari, engkau yang datang,
aku tak akan menolak.
Tapi untuk saat ini,
aku sedang belajar membuka hati lagi—
bukan untukmu, tapi untuk takdir yang lebih layak.


Aku pamit.
Akan kuhapus namamu dari buku teleponku,
dan semoga jika kita bertemu lagi,
itu karena takdir yang membawa,
bukan karena perasaan yang tersisa.

Atau mungkin,
tidak akan pernah lagi. 

0 comments:

Posting Komentar