Kemarin, seorang tamu melangkah masuk ke rumah, menyapa dengan keramahan. Aku, yang tak begitu menyukainya, diam-diam menyiapkan segelas kopi pahit—bukan sekadar suguhan, tapi sebuah isyarat halus agar ia lekas pergi. Namun, rencanaku berbalik arah. Dengan senyum yang tak berkurang sedikit pun, ia menyesap kopi itu perlahan, lalu berkata dengan penuh ketulusan, 'Kopinya enak sekali.'
Sudah kukirim tanda-tanda lain—melirik jam, merapikan kursi,
bahkan membuka pintu lebar-lebar—namun ia tetap bertahan, duduk nyaman seolah
rumah ini memang tempatnya. Hingga sore menjelang malam, aku duduk diam,
menyeruput sisa kopi dingin, bertanya-tanya siapa sebenarnya yang tak tahu
diri—dia yang tak peka, atau aku yang terlalu tak enakan untuk berkata:
"Pulanglah."
Namun akhirnya, tamu itu pulang juga. Tanpa tanda, tanpa pamit yang panjang—begitu saja, pergi setelah sekian lama bertahan. Tidak ada pelukan, tidak ada kalimat penutup yang berarti. Hanya jejak duduk yang masih hangat dan gelas kopi kosong di meja tamu. Aku tidak menahan, tak juga mengejar. Hanya menatap punggungnya sebentar, lalu menutup pintu dengan napas lega yang terasa lebih ringan dari biasanya.
0 comments:
Posting Komentar