Kau tahu, ada rasa yang begitu rumit di dalam dada. Tentang seseorang yang begitu tulus hadir, begitu sabar, begitu ikhlas. Tapi aku—aku justru tak mampu melangkah ke arahnya.
Yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam, menyaksikan ketulusannya tanpa tahu bagaimana membalasnya dengan layak.
Entah mengapa, ada dinding yang tinggi sekali di antara kami. Bukan karena dia buruk—tidak sama sekali. Justru karena dia terlalu baik, hingga aku takut mengecewakan. Aku takut menyakitinya dengan luka yang belum sembuh dalam diriku.
Bukan karena aku tak ingin. Tapi aku takut. Aku pernah terlalu percaya, pernah membuka pintu selebar-lebarnya untuk seseorang—dan akhirnya yang masuk bukan cahaya, melainkan badai. Sejak saat itu, aku seperti menutup semua jendela, semua ventilasi, semua celah yang mungkin membuatku kembali tersakiti. Bukan karena aku keras kepala… tapi karena aku sedang belajar bertahan.
Kau tahu? Aku bahkan bingung harus mencurahkan semua ini kepada siapa. Aku takut, saat aku bicara, orang-orang akan menertawaiku, menyebutku berlebihan, menyebutku 'drama' atau 'alay'. Padahal aku hanya... kewalahan. Di usia yang tak lagi muda, aku masih bergelut dengan rasa yang belum bisa kuuraikan.
Yang kubutuhkan? Sederhana. Aku hanya ingin didengar. Tanpa dihakimi. Tanpa disuruh cepat pulih. Tanpa harus berpura-pura kuat. Tapi, ketakutanku lebih besar dari keinginanku. Aku takut, aku hanya akan menyalahgunakan ketulusan orang lain, menjadikannya tempat sampah untuk semua keluh dan luka yang bahkan aku sendiri tak mengerti ujungnya.
Aku tak tahu harus ke mana, tak tahu arah mana yang harus kutuju. Aku hanya tahu, aku ingin selamat. Aku ingin melindungi diriku dari luka yang sama. Aku ingin menjaga sisa-sisa hati yang masih bisa diselamatkan. Dan itu tidak salah, kan? Ingin melindungi diri sendiri?
Maafkan aku, jika aku terdengar egois. Tapi mungkin, saat ini, aku memang harus begitu. Karena siapa lagi yang bisa memeluk dan menjaga diriku... selain aku sendiri?"
0 comments:
Posting Komentar