@maryamahdiyyahBerbicara tentang kesabaran dan keikhlasan, marilah kita mengingat jasa seorang yang sering kita lupakan. Seorang yang berjuang dalam memerangi kebodohan agar terhempas dari muka bumi. Seorang yang tersemat padanya gelar agung, "Pahlawan tanpa tanda jasa". Dialah guru, manusia berbalut jubah kesabaran dan keikhlasan.
Penyematan gelar "Pahlawan tanpa tanda jasa" cukup unik. Bagaimana mungkin seorang pahlawan tidak mendapatkan penghargaan berupa simbol pengakuan agar jasanya terus dikenang sepanjang zaman? Mengapa simbolis kenang jasa tidak ada pada guru? Apa yang membuat seorang guru menjadi pahlawan tanpa tanda jasa? Ternyata tidak lain dan tidak bukan, karena rasa ikhlas dan sikap sabar seorang guru dalam mendidik putra-putri bangsa. Kesabaran dan keikhlasannya bak sebuah lilin. Ia rela terbakar agar dapat menerangi sekelilingnya. Ia rela mengajar anak didiknya walaupun kondisi sulit dan mencekik. Ia hanya tidak rela, anak didiknya hidup dalam kebodohan apalagi menjadi korban pembodohan. Akan tetapi
eksistensi kesabaran dan keikhlasan guru semakin pudar seiring berkembangnya zaman. Bahkan banyak dari pihak guru tersendiri yang merusak gelar "Pahlawan tanpa tanda jasa" demi keuntungan duniawi. Sungguh ironi dan miris! Kejadian seperti inilah yang membuat dunia buta tentang guru yang masih merawat kesabaran dan keikhlasan dalam sanubarinya.
Guru merupakan cita-citaku sejak belia. Tak ada hal lain yang memotivasi diriku untuk menjadi guru kecuali bahwa ia adalah pekerjaan mulia dan berbuah pahala yang besar. Seiring berjalannya masa, Allah berkenan mengabulkan cita-citaku menjadi guru di usia remaja. Tepatnya 3 tahun yang lalu saat usiaku baru menginjak 17 tahun. Sebuah takdir indah membawaku dan teman-teman ke sebuah pondok pesantren tingkat menengah pertama untuk ditugaskan mengajar sekaligus membimbing para santri.
Ibarat pelangi yang memiliki tujuh warna yang berbeda, kini aku berhadapan dengan ratusan santri dengan warna dan sifat yang berbeda-beda. Cara mendidik dan mengajar pun harus banyak perbedaan antara satu anak dengan yang lainnya. Bukan tak mudah, kepribadian 17 tahun yang masih labil pun menjadi kendalaku. Tak jarang jiwa ini berapi panas dan marah melihat kelakuan santri yang tidak mau mengikuti peraturan. Teringat nasihat pimpinan pondok bahwa terkadang rasa marah harus ditahan demi kemaslahatan dan terkadang pula perlu diekspresikan dengan hukuman. Tidak dimungkiri, marah adalah bagian dari tarbiyah dan menjadi sesuatu yang diperlukan. Namun terkadang kemarahan dan hukuman para guru menjadi aduan santri kepada orang tuanya. Tidak kuhitung, sudah berulang kali aku mendengar protes orangtua kepada kami tentang anak mereka yang pernah dihukum. Dengan penjelasan, tidak sedikit dari orang tua yang memahami permasalahan dan menyerahkan segala urusan tarbiyah kepada guru. Tetapi ada pula yang bersikukuh tidak rela jika anaknya harus dihukum. Pada kondisi seperti inilah kesabaran menjadi guru diuji. Karena adanya masalah bukan untuk dihadapi dengan cara kasar, tapi dihadapi dengan sabar.
Selain mendidik adab dan perilaku, guru di pondok pesantren ini juga berperan menjadi pendidik di kelas formal. Tidak berbeda, terkadang ruang kelas adalah sumber permasalahan yang menguji mental sabar dan ikhlas. Mulai dari belajar materi yang akan diajar, lalu belajar memahamkan diri sendiri dan orang lain, hingga latihan mengajar sebelum masuk kelas harus selalu diperjuangkan dengan harapan santri akan antusias dengan gurunya. Tidak jarang harapan itu menjadi nyata, namun tidak jarang pula ia hanyalah angan kosong belaka. Kelakuan para santri tidak absen membuatku mengelus dada. Ada yang asik bercanda dengan temannya di tengah pelajaran, ada pula santri tukang izin yang sering terlambat, bahkan ada pula yang asik di alam mimpinya sepanjang pelajaran. Pernah kumerenung, bahwa tidak semua hal buruk berimbas pada santri dan harus menyalahkan mereka. Seyogianya seorang gurulah yang menginstropeksi diri bahwasanya kesalahan santri merupakan kesalahannya juga. Merasa bersalah karena seorang guru tidak mampu membawa santri pada suasana belajar efektif yang mereka suka. Merasa bersalah jikalau seorang guru belum bisa menjadi teladan yang baik bagi santrinya. Menjadi guru tidaklah mudah, banyak segmen kisah mengharuskan dirinya menjadi superhero dengan kekuatan sabar dan ikhlas tanpa batas. Terus menghibur diri, bahwa semua kejadian memiliki hikmah tersirat di dalamnya.
Di pertengahan semester pertama, pondok ini kedatangan seorang santri pindahan. Ketika dilihat, santri ini selayaknya santri lainnya. Namun seiring berjalannya waktu, ternyata ia adalah santri yang istimewa. Mengapa istimewa? Karena dia mempunyai kemampuan akademik dibawah rata-rata. Teman-temanku sesama guru sering kewalahan dibuatnya. Hingga suatu hari, temanku yang menjadi pembimbing tahfidz harian santri istimewa tersebut memintaku untuk membantu dan mengajarinya menghapal. Temanku mengeluhkan bahwasanya dia sering hilang kesabaran dalam mengajar. Bukan cara kasar kami mengajari, bahkan sangat ramah dan lemah lembut. Tapi nyatanya satu tahun berlalu dan ia hanya bisa menghafal satu setengah lembar surat Al Baqarah. Sebuah prestasi yang rawan direndahkan santri lainnya. Hal ini pun sukses membuat guru berdebat untuk membuatnya naik kelas atau tetap tinggal kelas. Hingga diputuskan akhirnya santri istimewa harus tinggal kelas meskipun kami sangat mengapresiasi kegigihannya. Semua harus menerima keputusan sembari memungut hikmah dalam setiap kejadian.
Beberapa segmen kisah diatas memang kisah biasa yang sudah sering terjadi pada guru-guru di luar sana. Tujuanku bercerita adalah agar kita bisa mengulas dan mengingat kembali keikhlasan dan kesabaran seorang guru dalam berbenah diri dan berjuang mendidik putra-putri bangsa. Kita semua pasti memiliki minimal seorang guru untuk dijadikan panutan. Bahkan secara tidak sadar, apa yang guru tersebut lakukan menjadi motivasi tersendiri untuk kita terus berkembang menjadi kita yang sekarang. Menjadi guru merupakan ladang kesabaran untuk menoreh jasa membangun dunia, namun karena keikhlasannya, ia rela jika dunia tak mengenal jasa-jasanya.