Senin, 07 September 2020

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa



@maryamahdiyyah

Berbicara tentang kesabaran dan keikhlasan, marilah kita mengingat jasa seorang yang sering kita lupakan. Seorang yang berjuang dalam memerangi kebodohan agar terhempas dari muka bumi. Seorang yang tersemat padanya gelar agung, "Pahlawan tanpa tanda jasa". Dialah guru, manusia berbalut jubah kesabaran dan keikhlasan. 

 

Penyematan gelar "Pahlawan tanpa tanda jasa" cukup unik. Bagaimana mungkin seorang pahlawan tidak mendapatkan penghargaan berupa simbol pengakuan agar jasanya terus dikenang sepanjang zaman? Mengapa simbolis kenang jasa tidak ada pada guru? Apa yang membuat seorang guru menjadi pahlawan tanpa tanda jasa? Ternyata tidak lain dan tidak bukan, karena rasa ikhlas dan sikap sabar seorang guru dalam mendidik putra-putri bangsa. Kesabaran dan keikhlasannya bak sebuah lilin. Ia rela terbakar agar dapat menerangi sekelilingnya. Ia rela mengajar anak didiknya walaupun kondisi sulit dan mencekik. Ia hanya tidak rela, anak didiknya hidup dalam kebodohan apalagi menjadi korban pembodohan. Akan tetapi


eksistensi kesabaran dan keikhlasan guru  semakin pudar seiring berkembangnya zaman. Bahkan  banyak dari pihak guru tersendiri yang merusak gelar  "Pahlawan tanpa tanda jasa" demi keuntungan duniawi.  Sungguh ironi dan miris! Kejadian seperti inilah yang  membuat dunia buta tentang guru yang masih merawat  kesabaran dan keikhlasan dalam sanubarinya.  

 

Guru merupakan cita-citaku sejak belia. Tak ada hal lain yang memotivasi diriku untuk menjadi guru kecuali  bahwa ia adalah pekerjaan mulia dan berbuah pahala yang  besar. Seiring berjalannya masa, Allah berkenan  mengabulkan cita-citaku menjadi guru di usia remaja.  Tepatnya 3 tahun yang lalu saat usiaku baru menginjak 17  tahun. Sebuah takdir indah membawaku dan teman-teman ke  sebuah pondok pesantren tingkat menengah pertama untuk  ditugaskan mengajar sekaligus membimbing para santri. 

 

Ibarat pelangi yang memiliki tujuh warna yang  berbeda, kini aku berhadapan dengan ratusan santri dengan  warna dan sifat yang berbeda-beda. Cara mendidik dan  mengajar pun harus banyak perbedaan antara satu anak  dengan yang lainnya. Bukan tak mudah, kepribadian 17 tahun  yang masih labil pun menjadi kendalaku. Tak jarang jiwa ini  berapi panas dan marah melihat kelakuan santri yang tidak mau mengikuti peraturan. Teringat nasihat pimpinan pondok bahwa terkadang rasa marah harus ditahan demi  kemaslahatan dan terkadang pula perlu diekspresikan dengan  hukuman. Tidak dimungkiri, marah adalah bagian dari  tarbiyah dan menjadi sesuatu yang diperlukan. Namun  terkadang kemarahan dan hukuman para guru menjadi aduan  santri kepada orang tuanya. Tidak kuhitung, sudah berulang  kali aku mendengar protes orangtua kepada kami tentang  anak mereka yang pernah dihukum. Dengan penjelasan, tidak  sedikit dari orang tua yang memahami permasalahan dan  menyerahkan segala urusan tarbiyah kepada guru. Tetapi ada  pula yang bersikukuh tidak rela jika anaknya harus dihukum.  Pada kondisi seperti inilah kesabaran menjadi guru diuji.  Karena adanya masalah bukan untuk dihadapi dengan cara  kasar, tapi dihadapi dengan sabar. 

 

Selain mendidik adab dan perilaku, guru di pondok  pesantren ini juga berperan menjadi pendidik di kelas formal.  Tidak berbeda, terkadang ruang kelas adalah sumber  permasalahan yang menguji mental sabar dan ikhlas. Mulai  dari belajar materi yang akan diajar, lalu belajar  memahamkan diri sendiri dan orang lain, hingga latihan  mengajar sebelum masuk kelas harus selalu diperjuangkan  dengan harapan santri akan antusias dengan gurunya. Tidak jarang harapan itu menjadi nyata, namun tidak jarang pula ia hanyalah angan kosong belaka. Kelakuan para santri tidak  absen membuatku mengelus dada. Ada yang asik bercanda  dengan temannya di tengah pelajaran, ada pula santri tukang  izin yang sering terlambat, bahkan ada pula yang asik di alam  mimpinya sepanjang pelajaran.  Pernah kumerenung, bahwa tidak semua hal buruk  berimbas pada santri dan harus menyalahkan mereka.  Seyogianya seorang gurulah yang menginstropeksi diri  bahwasanya kesalahan santri merupakan kesalahannya juga.  Merasa bersalah karena seorang guru tidak mampu membawa  santri pada suasana belajar efektif yang mereka suka. Merasa  bersalah jikalau seorang guru belum bisa menjadi teladan  yang baik bagi santrinya. Menjadi guru tidaklah mudah,  banyak segmen kisah mengharuskan dirinya menjadi  superhero dengan kekuatan sabar dan ikhlas tanpa batas.  Terus menghibur diri, bahwa semua kejadian memiliki  hikmah tersirat di dalamnya. 

 

Di pertengahan semester pertama, pondok ini kedatangan seorang santri pindahan. Ketika dilihat, santri ini  selayaknya santri lainnya. Namun seiring berjalannya waktu,  ternyata ia adalah santri yang istimewa. Mengapa istimewa?  Karena dia mempunyai kemampuan akademik dibawah rata-rata. Teman-temanku sesama guru sering kewalahan dibuatnya. Hingga suatu hari, temanku yang menjadi  pembimbing tahfidz harian santri istimewa tersebut  memintaku untuk membantu dan mengajarinya menghapal.  Temanku mengeluhkan bahwasanya dia sering hilang  kesabaran dalam mengajar. Bukan cara kasar kami mengajari,  bahkan sangat ramah dan lemah lembut. Tapi nyatanya satu  tahun berlalu dan ia hanya bisa menghafal satu setengah  lembar surat Al Baqarah. Sebuah prestasi yang rawan  direndahkan santri lainnya. Hal ini pun sukses membuat guru  berdebat untuk membuatnya naik kelas atau tetap tinggal  kelas. Hingga diputuskan akhirnya santri istimewa harus  tinggal kelas meskipun kami sangat mengapresiasi  kegigihannya. Semua harus menerima keputusan sembari  memungut hikmah dalam setiap kejadian. 

 

Beberapa segmen kisah diatas memang kisah biasa yang sudah sering terjadi pada guru-guru di luar sana.  Tujuanku bercerita adalah agar kita bisa mengulas dan  mengingat kembali keikhlasan dan kesabaran seorang guru  dalam berbenah diri dan berjuang mendidik putra-putri  bangsa.  Kita semua pasti memiliki minimal seorang guru  untuk dijadikan panutan. Bahkan secara tidak sadar, apa yang guru tersebut lakukan menjadi motivasi tersendiri untuk kita terus berkembang menjadi kita yang sekarang. Menjadi guru  merupakan ladang kesabaran untuk menoreh jasa  membangun dunia, namun karena keikhlasannya, ia rela  jika dunia tak mengenal jasa-jasanya.

 

0 comments:

Posting Komentar