Kamis, 09 Juli 2020

Patah Hati Yang Disengaja


Sinar surya mulai menerobos di antara turunnya salju. Melukis indahnya sebuah pagi di cakrawala Paman Sam. Burung besi itu telah menerbangkanku jauh menggapai titik rindu. Setelah jarak membentang ciptakan ngarai antara kita.

 

Sesaat kaki melangkah keluar dari bandara, desiran angin dingin menyambut lalu menusuk pori-pori hingga tulang. Ku rapatkan jaket bulu yang setia melindungiku dari dinginnya udara. Berbekal selembar kertas lusuh bertuliskan sebuah alamat yang masih ku genggam sejak pagi, hati ini menyemangati diriku untuk terus berjalan di jantung kota.

 

Hingga aku meyakini diri sendiri bahwa perjalanan panjang ini tak sia-sia. Aku menemukan dirimu di tengah hiruk pikuk ibu kota. Diriku dengan angan-angan yang panjang sementara jangkauan tangan tak sanggup gapai, mendadak beku atas pertemuan ini. Jumpa ini mencipta lengkung senyum pada raut wajahku.  “Kaukah itu? Ingatkah aku, sahabat kecilmu?”

 

Matahari terus beredar, hingga bayanganku tak tampak lagi. Kelelahanku menguap ketika kau mulai memandangku. Sorotmu mencari sebongkah keyakinan. Dahimu mengerut mempertunjukan rasa tak girang. Nyaliku mulai ciut ketika kau menampakkan rona gusar. Ku genggam tanganmu penuh harap atas semua kenangan. “Gila,kau. Maaf, Aku tidak bisa bermain seperti anak kecil lagi!” kau melepas paksa tanganmu yang kugenggam. Suaramu bagai badai di siang bolong, sama sekali tidak merdu.

 

Butiran salju yang turun mulai renggang. Terik baskara mulai terasa  gerah. Hatiku mulai resah ketika seorang lelaki datang mendekapmu. ”Ada apa, sayang?”. Kegundahanku tak lagi dapat disembunyikan ketika kau menyahut dalam dekapnya. Plak! Oh, tamparan keras lelakimu melengkapi seluruh penderitaanku. Adalah sandakan mengawali perih harga diri teriris jati di pisau dan gergaji terlepas cinta “Tidak apa-apa, ini hanya masalah kecil. Mari kita pulang!” Sepasang mata ini hanya tertunduk sebelum sedetik kemudian melihat punggungmu menjauh bersamanya. Ternyata rindu terlalu jauh untuk mendekatkan kita. Bahkan sangat jauh, hingga tak dapat kutemui kembali jejaknya.

 

Kisah kita memang indah, seperti semburat senja dengan warna keemasannya. Kadang aku terbawa khayal, kita dapat bersatu lagi. Setelah penantian panjang yang kujalani. Menyayangimu serupa sajak yang tak mampu kutuliskan judul di atasnya. Hingga kubaca berulang-ulang, lalu kuhapus sejak tak kutemukan rasa selain bimbang dan guguran-guguran daunan.

 ---

Mentari pagi kini bersinar dengan rona suryanya yang berbahagia. Seakan ia tengah menghiburku akan badai petir tangisan semalam. Sudah ku lelehkan rasa yang membatu di punggung ini mencengkeram pikiran, buntu. Apa otak ini tak normal lagi? Semenjak kau bilang; aku sudah gila. Kupandang bendera amerika serikat yang tegantung di tengah bandara. membiarkan ia menjadi saksi tentang sebuah rasa. Aku memang pernah gila mencintai sahabat kecilku. Hingga kupertaruhkan peti uangku untuk menemuimu. Sekarang ia tinggallah receh bekalku kembali. Kembali dengan sebuah hati bahwa cinta tak selalu bawa bahagia, kadang duka yang jadi tuaian.

 

Kumantapkankan kakiku melangkah menuju burung besi. Yang akan menerbangkanku tinggi menjauhi tempatku berpijak. Melupakan sekelumit kisah yang menyakitkan. Kisah yang mengajariku arti patah hati. Bahwa Berharap pada manusia adalah patah hati yang disengaja

 

0 comments:

Posting Komentar