Selasa, 13 Mei 2025

Melindungi Diri, Tak Salah kan?

0 comments

Kau tahu, ada rasa yang begitu rumit di dalam dada. Tentang seseorang yang begitu tulus hadir, begitu sabar, begitu ikhlas. Tapi aku—aku justru tak mampu melangkah ke arahnya. 

Yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam, menyaksikan ketulusannya tanpa tahu bagaimana membalasnya dengan layak.


Entah mengapa, ada dinding yang tinggi sekali di antara kami. Bukan karena dia buruk—tidak sama sekali. Justru karena dia terlalu baik, hingga aku takut mengecewakan. Aku takut menyakitinya dengan luka yang belum sembuh dalam diriku.


Bukan karena aku tak ingin. Tapi aku takut. Aku pernah terlalu percaya, pernah membuka pintu selebar-lebarnya untuk seseorang—dan akhirnya yang masuk bukan cahaya, melainkan badai. Sejak saat itu, aku seperti menutup semua jendela, semua ventilasi, semua celah yang mungkin membuatku kembali tersakiti. Bukan karena aku keras kepala… tapi karena aku sedang belajar bertahan.


Kau tahu? Aku bahkan bingung harus mencurahkan semua ini kepada siapa. Aku takut, saat aku bicara, orang-orang akan menertawaiku, menyebutku berlebihan, menyebutku 'drama' atau 'alay'. Padahal aku hanya... kewalahan. Di usia yang tak lagi muda, aku masih bergelut dengan rasa yang belum bisa kuuraikan.


Yang kubutuhkan? Sederhana. Aku hanya ingin didengar. Tanpa dihakimi. Tanpa disuruh cepat pulih. Tanpa harus berpura-pura kuat. Tapi, ketakutanku lebih besar dari keinginanku. Aku takut, aku hanya akan menyalahgunakan ketulusan orang lain, menjadikannya tempat sampah untuk semua keluh dan luka yang bahkan aku sendiri tak mengerti ujungnya.


Aku tak tahu harus ke mana, tak tahu arah mana yang harus kutuju. Aku hanya tahu, aku ingin selamat. Aku ingin melindungi diriku dari luka yang sama. Aku ingin menjaga sisa-sisa hati yang masih bisa diselamatkan. Dan itu tidak salah, kan? Ingin melindungi diri sendiri?


Maafkan aku, jika aku terdengar egois. Tapi mungkin, saat ini, aku memang harus begitu. Karena siapa lagi yang bisa memeluk dan menjaga diriku... selain aku sendiri?"


Kamis, 08 Mei 2025

Terakhir

0 comments

 8 Mei 2025

Sebenernya aku ingin sekali berhenti menulis tentangmu. Aku takut, jika diteruskan, bahkan aku tidak akan bisa melihat lagi kebaikan-kebaikanmu. Entah aku bisa janji atau tidak, aku harap ini yang terakhir kalinya.


Hari ini aku merasa berat. Bukan karena aku masih menyimpan harapan, tapi karena aku pernah memberikan hati yang tulus, tapi ternyata tidak dipedulikan. Aku bukan tidak peka, bahkan aku mengerti sinyalnya sejak awal. Tentang ketidaksukaanmu pada hal tentangku. Tapi diam-diam aku tetap menghargai, tetap menjaga, tetap menanti, meski tanpa menggantungkan apa pun.


Aku tidak pernah menuntut apa-apa. Bahkan aku tidak sempat berkata apa pun. Dia hanya pergi, lalu menutup pintu tanpa aba-aba. Hari ini aku sadar, bukan rasa sayangku yang menyakitkan hati ini, tapi caranya menjauh, seolah aku tak pantas untuk diberi penjelasan.


Aku tidak marah. Tapi aku terluka.


Dan luka itu bukan karena kehilangan dia. Tapi karena kehilangan versi diriku dulu, sebelum pernah berharap, sebelum mengemis kejelasan. Luka karena aku pernah diam-diam membangun harapan kecil hanya untuk dihancurkan tanpa suara, pasif.


Hari ini aku menulis bukan untuk dia. Tapi untukku. Untuk memastikan bahwa luka ini tidak akan meracuni hari-hariku yang akan datang. Untuk memastikan bahwa perasaanku sudah resmi berhenti di sini.


----

Untuk Diriku yang Sedang Belajar Melepaskan,

Terima kasih karena masih bertahan sejauh ini.
Aku tahu akhir-akhir ini hatimu terasa berat. Bukan karena cinta yang ditolak, tapi karena sesuatu yang pernah kamu harapkan perlahan memudar tanpa kejelasan. Kamu sempat menyayangi seseorang dalam diam, dengan cara yang sederhana, dengan versi terbaik dari keikhlasanmu. Kamu tidak pernah meminta banyak, hanya ingin dihargai, diberi kepastian, atau setidaknya dijelaskan.


Tapi tidak semua orang punya keberanian seperti kamu.
Tidak semua orang tahu bagaimana caranya bersikap jujur, apalagi ketika tahu akan menyakiti.
Dan kamu, seperti biasa, menjadi pihak yang diam-diam menanggung luka itu sendiri.


Hari-hari kemarin kamu bertanya,
“Apa aku tidak cukup baik?”
“Kok bisa dia pergi tanpa sepatah kata?”
“Kok bisa aku sesesak ini, padahal tidak ada apa-apa?”


Dan itu wajar. Karena kamu tidak sedang sedih karena ditolak,
Kamu sedih karena pernah menaruh harap, pernah menyusun kemungkinan,
Pernah diam-diam melibatkan perasaan… tapi tidak pernah benar-benar diberi ruang untuk menyampaikan.


Patah hati kali ini terasa lebih sesak, ya?
Its Okey, tenang, bukan karena kamu lemah. 
Tapi karena kamu pernah menggenggam harapan itu sendirian, tanpa tahu kapan harus melepaskan.


Sekarang, aku ingin kamu tahu:
Tak apa untuk merasa lelah.
Tak apa untuk berhenti sebentar.
Tak apa untuk menangis tanpa alasan yang bisa dijelaskan ke orang lain.
Karena hatimu sedang membereskan sesuatu yang tidak terlihat… dan itu pekerjaan yang berat.


Mulai hari ini, mari pelan-pelan belajar merelakan.
Bukan untuk dia, tapi untuk dirimu sendiri.
Karena kamu berhak atas ketenangan.
Kamu berhak untuk tidak terus-menerus bertanya-tanya.
Kamu berhak memilih untuk tidak lagi menunggu sesuatu yang bahkan tidak tahu sedang ke mana arahnya.


Terima kasih sudah berusaha kuat.
Terima kasih sudah tidak menyalahkan dirimu.
Terima kasih sudah memilih untuk sembuh meskipun perlahan.


Kita mulai lagi ya, sayang.
Dengan cinta yang lebih besar… untuk dirimu sendiri.
Tolong, jangan menjatuhkan hatimu pada siapapun untuk saat-saat ini.
Tapi jangan pernah trauma,

Dari aku, untuk diriku dengan pelukan paling hangat.





Rabu, 07 Mei 2025

Tamu Tak Diundang

0 comments


Kemarin, seorang tamu melangkah masuk ke rumah, menyapa dengan keramahan. Aku, yang tak begitu menyukainya, diam-diam menyiapkan segelas kopi pahit—bukan sekadar suguhan, tapi sebuah isyarat halus agar ia lekas pergi. Namun, rencanaku berbalik arah. Dengan senyum yang tak berkurang sedikit pun, ia menyesap kopi itu perlahan, lalu berkata dengan penuh ketulusan, 'Kopinya enak sekali.'

 

Sudah kukirim tanda-tanda lain—melirik jam, merapikan kursi, bahkan membuka pintu lebar-lebar—namun ia tetap bertahan, duduk nyaman seolah rumah ini memang tempatnya. Hingga sore menjelang malam, aku duduk diam, menyeruput sisa kopi dingin, bertanya-tanya siapa sebenarnya yang tak tahu diri—dia yang tak peka, atau aku yang terlalu tak enakan untuk berkata: "Pulanglah."

 

Namun akhirnya, tamu itu pulang juga. Tanpa tanda, tanpa pamit yang panjang—begitu saja, pergi setelah sekian lama bertahan. Tidak ada pelukan, tidak ada kalimat penutup yang berarti. Hanya jejak duduk yang masih hangat dan gelas kopi kosong di meja tamu. Aku tidak menahan, tak juga mengejar. Hanya menatap punggungnya sebentar, lalu menutup pintu dengan napas lega yang terasa lebih ringan dari biasanya.