Selasa, 13 Mei 2025

Melindungi Diri, Tak Salah kan?

0 comments

Kau tahu, ada rasa yang begitu rumit di dalam dada. Tentang seseorang yang begitu tulus hadir, begitu sabar, begitu ikhlas. Tapi aku—aku justru tak mampu melangkah ke arahnya. 

Yang bisa kulakukan hanya menangis dalam diam, menyaksikan ketulusannya tanpa tahu bagaimana membalasnya dengan layak.


Entah mengapa, ada dinding yang tinggi sekali di antara kami. Bukan karena dia buruk—tidak sama sekali. Justru karena dia terlalu baik, hingga aku takut mengecewakan. Aku takut menyakitinya dengan luka yang belum sembuh dalam diriku.


Bukan karena aku tak ingin. Tapi aku takut. Aku pernah terlalu percaya, pernah membuka pintu selebar-lebarnya untuk seseorang—dan akhirnya yang masuk bukan cahaya, melainkan badai. Sejak saat itu, aku seperti menutup semua jendela, semua ventilasi, semua celah yang mungkin membuatku kembali tersakiti. Bukan karena aku keras kepala… tapi karena aku sedang belajar bertahan.


Kau tahu? Aku bahkan bingung harus mencurahkan semua ini kepada siapa. Aku takut, saat aku bicara, orang-orang akan menertawaiku, menyebutku berlebihan, menyebutku 'drama' atau 'alay'. Padahal aku hanya... kewalahan. Di usia yang tak lagi muda, aku masih bergelut dengan rasa yang belum bisa kuuraikan.


Yang kubutuhkan? Sederhana. Aku hanya ingin didengar. Tanpa dihakimi. Tanpa disuruh cepat pulih. Tanpa harus berpura-pura kuat. Tapi, ketakutanku lebih besar dari keinginanku. Aku takut, aku hanya akan menyalahgunakan ketulusan orang lain, menjadikannya tempat sampah untuk semua keluh dan luka yang bahkan aku sendiri tak mengerti ujungnya.


Aku tak tahu harus ke mana, tak tahu arah mana yang harus kutuju. Aku hanya tahu, aku ingin selamat. Aku ingin melindungi diriku dari luka yang sama. Aku ingin menjaga sisa-sisa hati yang masih bisa diselamatkan. Dan itu tidak salah, kan? Ingin melindungi diri sendiri?


Maafkan aku, jika aku terdengar egois. Tapi mungkin, saat ini, aku memang harus begitu. Karena siapa lagi yang bisa memeluk dan menjaga diriku... selain aku sendiri?"


Kamis, 08 Mei 2025

Terakhir

0 comments

 8 Mei 2025

Sebenernya aku ingin sekali berhenti menulis tentangmu. Aku takut, jika diteruskan, bahkan aku tidak akan bisa melihat lagi kebaikan-kebaikanmu. Entah aku bisa janji atau tidak, aku harap ini yang terakhir kalinya.


Hari ini aku merasa berat. Bukan karena aku masih menyimpan harapan, tapi karena aku pernah memberikan hati yang tulus, tapi ternyata tidak dipedulikan. Aku bukan tidak peka, bahkan aku mengerti sinyalnya sejak awal. Tentang ketidaksukaanmu pada hal tentangku. Tapi diam-diam aku tetap menghargai, tetap menjaga, tetap menanti, meski tanpa menggantungkan apa pun.


Aku tidak pernah menuntut apa-apa. Bahkan aku tidak sempat berkata apa pun. Dia hanya pergi, lalu menutup pintu tanpa aba-aba. Hari ini aku sadar, bukan rasa sayangku yang menyakitkan hati ini, tapi caranya menjauh, seolah aku tak pantas untuk diberi penjelasan.


Aku tidak marah. Tapi aku terluka.


Dan luka itu bukan karena kehilangan dia. Tapi karena kehilangan versi diriku dulu, sebelum pernah berharap, sebelum mengemis kejelasan. Luka karena aku pernah diam-diam membangun harapan kecil hanya untuk dihancurkan tanpa suara, pasif.


Hari ini aku menulis bukan untuk dia. Tapi untukku. Untuk memastikan bahwa luka ini tidak akan meracuni hari-hariku yang akan datang. Untuk memastikan bahwa perasaanku sudah resmi berhenti di sini.


----

Untuk Diriku yang Sedang Belajar Melepaskan,

Terima kasih karena masih bertahan sejauh ini.
Aku tahu akhir-akhir ini hatimu terasa berat. Bukan karena cinta yang ditolak, tapi karena sesuatu yang pernah kamu harapkan perlahan memudar tanpa kejelasan. Kamu sempat menyayangi seseorang dalam diam, dengan cara yang sederhana, dengan versi terbaik dari keikhlasanmu. Kamu tidak pernah meminta banyak, hanya ingin dihargai, diberi kepastian, atau setidaknya dijelaskan.


Tapi tidak semua orang punya keberanian seperti kamu.
Tidak semua orang tahu bagaimana caranya bersikap jujur, apalagi ketika tahu akan menyakiti.
Dan kamu, seperti biasa, menjadi pihak yang diam-diam menanggung luka itu sendiri.


Hari-hari kemarin kamu bertanya,
“Apa aku tidak cukup baik?”
“Kok bisa dia pergi tanpa sepatah kata?”
“Kok bisa aku sesesak ini, padahal tidak ada apa-apa?”


Dan itu wajar. Karena kamu tidak sedang sedih karena ditolak,
Kamu sedih karena pernah menaruh harap, pernah menyusun kemungkinan,
Pernah diam-diam melibatkan perasaan… tapi tidak pernah benar-benar diberi ruang untuk menyampaikan.


Patah hati kali ini terasa lebih sesak, ya?
Its Okey, tenang, bukan karena kamu lemah. 
Tapi karena kamu pernah menggenggam harapan itu sendirian, tanpa tahu kapan harus melepaskan.


Sekarang, aku ingin kamu tahu:
Tak apa untuk merasa lelah.
Tak apa untuk berhenti sebentar.
Tak apa untuk menangis tanpa alasan yang bisa dijelaskan ke orang lain.
Karena hatimu sedang membereskan sesuatu yang tidak terlihat… dan itu pekerjaan yang berat.


Mulai hari ini, mari pelan-pelan belajar merelakan.
Bukan untuk dia, tapi untuk dirimu sendiri.
Karena kamu berhak atas ketenangan.
Kamu berhak untuk tidak terus-menerus bertanya-tanya.
Kamu berhak memilih untuk tidak lagi menunggu sesuatu yang bahkan tidak tahu sedang ke mana arahnya.


Terima kasih sudah berusaha kuat.
Terima kasih sudah tidak menyalahkan dirimu.
Terima kasih sudah memilih untuk sembuh meskipun perlahan.


Kita mulai lagi ya, sayang.
Dengan cinta yang lebih besar… untuk dirimu sendiri.
Tolong, jangan menjatuhkan hatimu pada siapapun untuk saat-saat ini.
Tapi jangan pernah trauma,

Dari aku, untuk diriku dengan pelukan paling hangat.





Rabu, 07 Mei 2025

Tamu Tak Diundang

0 comments


Kemarin, seorang tamu melangkah masuk ke rumah, menyapa dengan keramahan. Aku, yang tak begitu menyukainya, diam-diam menyiapkan segelas kopi pahit—bukan sekadar suguhan, tapi sebuah isyarat halus agar ia lekas pergi. Namun, rencanaku berbalik arah. Dengan senyum yang tak berkurang sedikit pun, ia menyesap kopi itu perlahan, lalu berkata dengan penuh ketulusan, 'Kopinya enak sekali.'

 

Sudah kukirim tanda-tanda lain—melirik jam, merapikan kursi, bahkan membuka pintu lebar-lebar—namun ia tetap bertahan, duduk nyaman seolah rumah ini memang tempatnya. Hingga sore menjelang malam, aku duduk diam, menyeruput sisa kopi dingin, bertanya-tanya siapa sebenarnya yang tak tahu diri—dia yang tak peka, atau aku yang terlalu tak enakan untuk berkata: "Pulanglah."

 

Namun akhirnya, tamu itu pulang juga. Tanpa tanda, tanpa pamit yang panjang—begitu saja, pergi setelah sekian lama bertahan. Tidak ada pelukan, tidak ada kalimat penutup yang berarti. Hanya jejak duduk yang masih hangat dan gelas kopi kosong di meja tamu. Aku tidak menahan, tak juga mengejar. Hanya menatap punggungnya sebentar, lalu menutup pintu dengan napas lega yang terasa lebih ringan dari biasanya.  

Sabtu, 19 April 2025

Sembuh Sebentar Lagi

0 comments


Aku berniat menghilang.


Dan bukan, ini bukan karena aku lemah. Bukan karena aku kalah. Tapi karena aku muak menjaga perasaan seseorang yang bahkan tak pernah menoleh pada luka yang kutanggung sendiri.


Aku sudah cukup diam. Sudah cukup sabar. Sudah cukup menahan segala bentuk pertanyaan yang tak bisa kutanyai langsung. Aku sudah cukup baik—bahkan terlalu baik untuk seseorang yang hanya membalas diam dengan diam.


Kenapa saat Allah tahu aku akan jatuh, Dia tidak menghalanginya? Mungkin karena Dia tahu, aku perlu hancur untuk benar-benar sembuh. Aku perlu kecewa, agar aku berhenti menggantungkan bahagia pada manusia yang tak layak.


Hari ini, aku tidak peduli lagi dia paham atau tidak. Aku tidak peduli dia akan sadar atau tetap buta. Yang penting, aku berhenti menyiksa diriku sendiri. Aku berhenti membuat seakan semuanya baik-baik saja. 


Aku kecewa. Dan tidak, itu bukan salahku.


Kalau selama ini aku terlihat tenang, itu karena aku terlalu sering menyembunyikan badai. Kalau selama ini aku masih bertahan, itu karena aku percaya—setia tidak harus dilihat. Tapi cukup! Aku tidak akan terus bertahan untuk orang yang bahkan tak pernah berniat mengerti.


Hari ini aku memilih pergi. Dengan kepala tegak. Dengan hati yang, meski terluka, tetap penuh harga diri. Aku tidak akan menoleh lagi.


Dan jika suatu hari nanti ia menoleh, yang ia temukan hanyalah bayanganku yang sudah menyatu dengan ketegaran. Bukan aku yang dulu. Karena gadis itu sudah memilih untuk berdiri sendiri—tanpa menanti siapa pun kembali.


Hari ini aku tidak lagi menunggu. Hari ini aku memulai hidup yang tidak menaruh siapa pun di atas diriku sendiri.


Mungkin ini adalah akhir aku bercerita tentangnya. Bukan karena rasaku habis, tapi karena aku memilih mencintai diriku sendiri lebih dulu.

Minggu, 13 April 2025

With All Sincerity

0 comments



Aku pernah menyusun kata-kata untukmu dengan sangat hati-hati.
Berulang kali kutulis, kuhapus, kurevisi,
agar tak ada satu pun dari mereka yang menyakiti.
Karena bahkan saat aku belajar melepaskanmu,
aku tetap ingin menjaga caraku pergi.

Tapi ternyata aku kalah dengan closure di catatan IG mu.


Dan aku menerimanya—sebagai tanda bahwa waktunya telah tiba.
Waktunya untuk tidak lagi menunggu,
tidak lagi menjadi pertimbangan yang disimpan dalam jeda panjang yang tak pasti.
Karena mungkin, kehadiranku bukan penghibur,
melainkan belenggu yang membuatmu tak nyaman melangkah.


Kamu tak perlu merasa bersalah pernah datang,
karena bahkan jika kamu tak datang sekalipun,
aku tetap akan menyampaikan semuanya.
Sudah kupersiapkan sejak lama,
sebuah pesan tenang yang tidak lagi memaksa arah.


Kini, aku akan benar-benar pergi.
Tanpa jejak, tanpa sisa bisik yang tertinggal.
Tidak akan ada lagi "like" di storymu,
tidak akan ada lagi "reply" di catatanmu

tidak ada tulisan utas lagi tentangmu

tidak lagi mendiskusikan namamu dengan Rabbku

tidak akan ada lagi aku yang berharap-harap diam.


Tapi sebelum benar-benar menutup pintu ini,
aku ingin berpesan—bukan sebagai seseorang yang pernah merasa,
melainkan sebagai seseorang yang pernah mengerti beratnya menyampaikan rasa.
Jika suatu hari nanti ada hati lain yang datang padamu,
tolong jangan terlalu keras.
Mungkin ia telah berjam-jam meyakinkan dirinya,
menurunkan gengsi yang lama dibentengi,
memastikan kalimatnya tidak terlalu jujur tapi juga tidak terlalu samar,
dan berbulan-bulan lamanya memanjatkan doa agar semua sesuai harapannya. 


Mungkin aku hanya persinggahan yang tak kau duga,
bukan yang kau tuju.
Dan itu tidak apa-apa.
Aku minta maaf pernah singgah dengan rasa yang terlalu nyata.
Aku tak akan memaksakanmu untuk tahu apa yang membuatku bertahan sejauh ini.
Biar semuanya tetap seperti ini:
sepotong kisah yang hanya aku dan Tuhan yang paham.


Dan jika suatu hari, engkau yang datang,
aku tak akan menolak.
Tapi untuk saat ini,
aku sedang belajar membuka hati lagi—
bukan untukmu, tapi untuk takdir yang lebih layak.


Aku pamit.
Akan kuhapus namamu dari buku teleponku,
dan semoga jika kita bertemu lagi,
itu karena takdir yang membawa,
bukan karena perasaan yang tersisa.

Atau mungkin,
tidak akan pernah lagi. 

Minggu, 23 Maret 2025

Tentang Rasa yang Kubiarkan Pergi

0 comments

 

Aku bukan menyerah, hanya saja aku memilih untuk berhenti berjalan sendiri dalam arah yang tak pasti. Aku takut jika terus melangkah tanpa kepastian, aku akan tersesat dalam harapan yang pada akhirnya hanya menyisakan luka untuk kita berdua. 


Dulu, aku pernah berkata bahwa aku bisa menunggu, bisa menjadi pilihan jika memang waktunya tiba. Tapi jika kehadiranku justru menjadi belenggu, aku lebih rela melepaskan daripada mempertahankan sesuatu yang tak pernah ingin digenggam.


Aku memang menyimpan rasa, tapi tidak seluruhnya. Aku selalu meninggalkan ruang bagi takdir untuk bekerja, bagi kehendak-Nya untuk menentukan akhir cerita. Jika ditanya apakah aku masih memiliki keinginan yang sama, jawabanku tak berubah. Tapi aku tak ingin lagi membangun angan-angan di atas kemungkinan yang rapuh.


Aku menulis ini bukan karena hatiku telah berpaling. Bukan pula karena aku ingin pergi. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa tidak semua perasaan harus memiliki ujung yang sama. Ada yang cukup dengan diakui, lalu dibiarkan mengalir, menemukan jalannya sendiri.


Jika suatu hari semesta mempertemukan kita lagi, mungkin kita tak perlu berbasa-basi. Kita bisa langsung bicara tentang arah, tentang tujuan, tentang kemungkinan yang lebih nyata. Jika memang tak sejalan, setidaknya kita tahu bahwa keputusan diambil dengan kesadaran, bukan sekadar keraguan yang dibiarkan menggantung.


Aku tak pernah menyesali apa yang kurasakan. Tidak juga menyesali keberanian untuk mengungkapkan. Justru aku belajar, bahwa kejujuran pada hati sendiri adalah hal yang paling melegakan.


Jadi, jika ingin bicara, aku masih di sini, mendengar tanpa menghakimi. Tapi jika lebih memilih untuk diam atau pergi, aku pun tak akan menahan. Yang aku harapkan hanya satu: ada kejelasan sebelum segalanya menjadi asing.


Hiduplah dengan baik. Aku hanyalah satu dari sekian banyak yang ingin melihatmu bahagia, meski mungkin bukan dalam cerita yang sama.

Selasa, 25 Februari 2025

Seni Menggambar

0 comments


Hidup adalah seni menggambar tanpa menghapus. Apa yang pernah kita torehkan tidak akan mungkin terhapus, yang tersisa hanyalah kenangan masa lalu. Namun, seperti seorang pelukis yang terus menggoreskan warna di atas kanvas, kita selalu memiliki kesempatan untuk menambahkan sentuhan baru. Setiap kesalahan bukanlah noda yang harus disesali, melainkan bagian dari komposisi yang membentuk keindahan hidup kita.

Mungkin ada garis yang tidak sempurna, bayangan yang terlalu gelap, atau warna yang tak sesuai harapan, tapi bukankah itu yang membuat lukisan menjadi unik? Kita tidak bisa menghapus masa lalu, tapi kita bisa belajar darinya untuk menciptakan karya yang lebih indah di masa depan. Hidup bukan soal bagaimana menghindari kesalahan, tapi bagaimana menjadikannya bagian dari kisah yang layak dikenang. Jadi, teruslah menggambar, menorehkan cerita, dan menciptakan mahakarya yang kelak bisa kita banggakan.

(Bukan) Tentang Foundie

0 comments
Kenapa selalu begitu?
Foundie yang kuinginkan selalu ada di rak paling atas.
Jauh dari jangkauan, membuatku harus meminta bantuan.
Saat akhirnya ada di tangan, ternyata harganya terlalu tinggi.
Belum sanggup kubayar, belum mampu kumiliki.

Harus menunggu, harus menabung, entah sampai kapan cukupnya.
Kadang kupikir, mungkin lebih baik sekadar melihat dari bawah saja.
Tak perlu meminta, tak perlu menyentuh, takut jatuh, takut rusak,
takut tak bisa mengganti, takut kehilangan sebelum sempat memiliki.

Ah, tapi ini bukan hanya tentang foundie...
Atau mungkin, justru ini memang tentang foundie.
Tentang sesuatu yang diinginkan, tapi tak bisa digapai seketika.
Tentang harapan yang harus disabarkan, tentang mimpi yang butuh jalan.
Mungkin suatu hari nanti, jika memang ditakdirkan,
ia akan ada di genggaman—tanpa takut, tanpa ragu, tanpa penyesalan.


Minggu, 16 Februari 2025

Hidup untuk Sadar, Salah untuk Belajar

0 comments
REST AREA YUK NGAJI
Ahad, 16 Februari 2025
Gedung Sutedjo, Purwokerto

Aku dan kamu adalah tokoh utama hari ini. Setiap tokoh utama memiliki sutradara, dan sebagai seorang hamba, sutradara kita adalah Allah SWT. Dialah yang mengatur setiap langkah, mengarahkan setiap adegan dalam hidup kita. Tidak ada satu pun skenario yang luput dari perencanaan-Nya, termasuk pertemuan, kehilangan, dan perjalanan panjang yang kita lalui.

Dalam perjalanan ini, jangan biarkan temanmu berjalan sendirian. Tetaplah temani temanmu yang sedang patah hati, karena menemani mereka adalah ibadah sepanjang masa. Sahabat sejati bukan hanya ada saat bahagia, tetapi juga tetap tinggal saat kesedihan melanda. Kehadiran seseorang yang memahami, meski tanpa banyak kata, sering kali menjadi penguat di saat semuanya terasa berat.

Namun, tidak semua hubungan membawa kebaikan. Ada kalanya kita harus memilih siapa yang tetap dalam lingkaran kita dan siapa yang sebaiknya kita lepaskan. Jika lingkunganmu justru membuatmu kehilangan arah, CUT OFF semua dan cari circle yang bisa menjaga kewarasan. Hidup ini bukan hanya tentang bertahan dalam situasi yang menyakiti, tetapi juga tentang memilih dengan siapa kita berjalan. Karena teman yang baik akan mendekatkanmu pada kebaikan, sementara lingkungan yang buruk perlahan akan mengikis nilai yang kau pegang.

Allah telah memberi karunia rahim kepada perempuan. Fitur rahim inilah yang menjadikan perempuan memiliki kasih sayang yang luar biasa, karena RAHIM berasal dari asma Allah (RAHMAN - RAHIM). Kasih sayang yang begitu dalam ini bukan hanya diberikan kepada orang lain, tetapi juga harus diterapkan pada diri sendiri. Sebab, bagaimana mungkin seseorang bisa mencintai dengan benar jika ia tidak menghargai dirinya sendiri?

Hai kamu.
Kamu sempurna dengan apa adanya dirimu, dengan cahaya utamamu. Jangan biarkan standar orang lain meredupkan sinarmu. Setiap orang memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Kita tidak dituntut untuk menjadi seperti orang lain, tetapi untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Perbedaan antara cantik dan istimewa:
Cantik belum tentu istimewa, tetapi istimewa tidak perlu cantik. Ada sesuatu yang lebih berharga dari sekadar penampilan, yaitu bagaimana kita membawa diri dan memberi arti bagi orang lain. Keistimewaan seseorang tidak ditentukan oleh fisik, tetapi oleh sikap dan cara ia berinteraksi dengan sekitarnya. Maka, berhentilah mencari validasi dari luar, karena keistimewaan sejati datang dari dalam diri.

Dan ingat, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada validasi manusia. Bukan tentang seberapa cantik di mata orang lain, bukan pula tentang memiliki seseorang di sisi. GAPAPA GA PUNYA AYANG, YANG PENTING PUNYA ALLAH YANG MAHA PENYAYANG. Tidak ada kasih sayang yang lebih tulus daripada kasih sayang Allah. Karena itu, jangan merasa kurang hanya karena belum memiliki pasangan. Diamond hanya bisa dipotong oleh diamond. Kalian luar biasa, jaga diri baik-baik.

STOP BANDINGKAN DIRIMU DENGAN ORANG LAIN.
Setiap orang punya perjalanan masing-masing. Ada yang jalannya cepat, ada yang lambat. Ada yang terlihat sukses di usia muda, ada yang menemukan jalannya nanti. Semua memiliki waktu yang telah ditetapkan oleh Allah. Maka, jangan biarkan perbandingan membuatmu kehilangan jati diri. Asli nyata, raih mimpi, wujudkan visi dan misi orang tua terhadapmu, lalu kejar mimpimu sendiri. Jangan takut bermimpi, tapi pastikan langkah-langkahmu selaras dengan harapan mereka yang telah berjuang untukmu.

Namun, di dunia ini, ketaatan tidak selalu mendapat dukungan. Dunia tidak support ketaatan. Kita hidup di tengah sistem yang menuntut kita menjadi individu yang hanya memikirkan diri sendiri. NEOLIBERALISASI telah membentuk pola pikir bahwa menikah harus dalam kondisi kaya, dan tidak menikah jika masih miskin. Betulkah?

Tentu tidak. Ini bukan sekadar masalah pribadi, tetapi juga sistem yang telah mengakar. Kita dipaksa berpikir bahwa segala sesuatu harus sempurna sebelum memulai, padahal kehidupan itu sendiri adalah proses belajar. Ini adalah masalah kompleks, yang bahkan melibatkan wewenang negara. Jika kita terus mengikuti arus tanpa mempertanyakan, kita akan terseret jauh dari nilai-nilai yang seharusnya kita pegang. Maka, jangan terkacau oleh aturan yang bukan berasal dari agama kita. Beranilah berpikir dan bertindak sesuai dengan kebenaran, meskipun itu bertentangan dengan standar dunia.

HIDUP UNTUK SADAR, SALAH UNTUK BELAJAR.
Tidak ada manusia yang sempurna. Jika kita salah, maka itu adalah kesempatan untuk belajar. Maka, JANGAN ZINA. MENIKAHLAH!! JANGAN RIBA. BERDAGANGLAH!! Kehidupan ini adalah pilihan. Kita bisa memilih jalan yang Allah ridhoi, atau jalan yang hanya terlihat mudah tetapi penuh jebakan.

Jadilah seseorang yang bisa men-support ketaatan orang lain, dan jadikan lingkunganmu sebagai support system yang menguatkan dalam kebaikan. Kita diciptakan untuk berguna. Jika selama ini kita terlalu sibuk mencari seseorang atau sesuatu, mungkin sudah saatnya kita beralih menjadi seseorang yang memberi manfaat. Daripada sibuk mencari, lebih baik sibuk menjadi.

Menjadi manusia itu harus sadar: kita diciptakan oleh siapa, untuk apa, dan mau ke mana setelah ini. Jangan sampai sibuk dengan kehidupan dunia sampai lupa bahwa ada kehidupan setelah ini. Semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan. Jangan menyia-nyiakan kehidupan yang sudah Allah amanahkan.

Terima kasih, aku, masih tetap di sini tanpa harus berputus asa.
KEEP SMILE BROH!

— Wafa Zahidah 'Azzam

Minggu, 02 Februari 2025

Bunga Plastik yang Kupetik Part 2

0 comments


---


Aku tidak pernah menyangka bahwa rasa yang tumbuh diam-diam selama satu tahun akhirnya terungkap dengan cara yang tidak terduga. Aku mengaguminya sejak lama, bukan karena hal yang dangkal, tetapi karena kebaikan, kesantunan, dan keteguhannya pada nilai-nilai agama. Diam-diam, aku menyimpan harapan bahwa suatu saat kami akan berjalan di jalan yang sama.


Hingga suatu ketika dia tiba-tiba menghubungiku. Sebuah pesan singkat yang membawa harapan besar. Dia bilang ingin serius, berbicara tentang jenjang pernikahan. Saat itu, hatiku berdebar hebat. Aku berpikir, Allah sangat menyayangiku hingga Ia memeluk doa doaku


Namun, seperti angin yang berembus cepat, euforia itu segera berubah menjadi kebingungan. Dia mulai bercerita tentang keraguannya, tentang rasa tidak cukup baik yang menggelayut di hatinya. Kata-kata seperti "Aku belum siap" dan "Jangan terlalu berharap" menusukku lebih dalam daripada yang kukira.


Aku berusaha terlihat tegar. Aku mencoba memahami dan menghargai kejujurannya. Tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Harapan yang sempat membubung tinggi kini jatuh perlahan, meninggalkan rasa patah yang tak kasat mata. Aku bertanya-tanya, apakah aku terlalu berharap pada sesuatu yang sebenarnya rapuh?



Kamis, 09 Januari 2025

Bunga Plastik yang Kupetik

0 comments


---


Aku memilih untuk bertahan. Tidak, bukan bertahan untuk memaksanya. Aku bertahan pada prinsipku untuk mencintai dengan tulus tanpa menuntut balasan. Aku ingin tetap menjadi aku, yang mencintai dengan cara yang baik, meski tak tau hasilnya. 


Namun, aku juga manusia. Keraguan mulai menghantui. Aku bertanya-tanya, apakah aku melakukan kesalahan? Apakah aku tidak cukup baik di matanya? Atau mungkin aku terlalu cepat berharap ketika dia masih terjebak dalam kebimbangannya sendiri?


Kini, aku memilih untuk diam sejenak. Bukan untuk menyerah, tapi untuk memberi ruang bagi hatiku sendiri. Aku percaya, jika dia memang untukku, maka dia akan kembali pada waktunya. Jika tidak, mungkin Allah telah menyiapkan rencana yang lebih baik untukku.


Dalam perjalanan ini, aku belajar satu hal yang penting: mencintai diri sendiri lebih dulu. Aku menyadari bahwa kebahagiaanku tidak seharusnya bergantung pada penerimaan orang lain. Aku harus menjadi utuh, dengan atau tanpa dia.